Merpati Nusantara Airlines atau selanjutnya dikenal dengan nama
Merpati Nusantara yang selanjutnya dikenal sebagai
Merpati dengan kode penerbangan
MZ adalah salah satu perusahan penerbangan nasional domestik di
Indonesia. Pernah beberapa tahun yang lalu menerbangan rute rute regional
Asia Tenggara dan
Australia. Maskapai ini masuk penilaian kategori 1 (kinerja sangat baik) dari Kementerian Perhubungan
[1]. Merpati mendapatkan penilaian bintang 2 (kualitas pelayanan kurang) dari
Skytrax[2].
Dalam masalah keselamatan penerbangan, maskapai ini memiliki rekor
keselamatan yang tergolong buruk jika dibandingkan maskapai Indonesia
lainnya, terutama disebabkan oleh fokus penerbangan maskapai ini ke
wilayah Indonesia Timur yang fasilitas bandaranya masih minim. Seperti
beberapa maskapai Indonesia lainnya, maskapai ini masuk
daftar hitam Uni Eropa karena masalah keamanan dan keselamatan.
Bermodal Rp10 juta dan enam pesawat, Merpati Nusantara Airlines memulai usahanya sebagai jembatan
udara yang menghubungkan tempat-tempat terpencil di
Kalimantan. Sejak berdiri, tanggal
6 September 1962, sampai sekarang, Merpati mengalami pasang surut.
"Jembatan Udara Nusantara". yang sarat misi ini memang seringkali dihimpit masalah.
Merpati
"lahir" berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun
1962
yang menetapkan pendirian perusahaan negara perhubungan udara daerah
dan penerbangan serbaguna Merpati Nusantara, yang disebut juga PN
Merpati Nusantara. Perusahaan milik negara ini memiliki lapangan usaha,
meliputi penyelenggaraan perhubungan udara di daerah-daerah dan
penerbangan serbaguna serta memajukan segala sesuatu yang berkaitan
dengan angkutan udara dalam arti kata yang seluas-luasnya. Maksud dan
tujuannya adalah dalam rangka turut membangun perekonomian nasional di
sektor perhubungan udara dengan mengutamakan kepentingan rakyat.
Awalnya, Merpati memiliki armada jenis
de Havilland Otter/DHC-3 empat unit dan
Dakota DC-3 dua unit, yang merupakan pesawat hibah dari Angkatan Udara Republik Indonesia (
TNI AU).
Ketika itu diketahui, modal awal perusahaan berupa uang rupiah lama
sejumlah Rp10 juta. Para pilot dan teknisi dipasok dari AURI,
Garuda Indonesia (dulu Garuda Indonesia Airways), dan perusahaan penerbangan sipil lainnya.
Sebagai direktur utama, ditunjuk Komodor Udara
Henk Sutoyo Adiputro (
1962-
1966), yang membawahi hanya 17 personel. Beberapa bulan kemudian, tahun
1963, penerbangan Merpati pun tak hanya di Kalimantan, tapi juga menerbangi rute
Jakarta-
Semarang,
Jakarta-
Tanjung Karang, dan
Jakarta-
Balikpapan.
Tahun
1964, Merpati menerima penyerahan seluruh hak konsesi dan operasi, serta kepemilikan sejumlah pesawat bekas maskapai
Belanda NV de Kroonduif
dari Garuda. Pengalihan ini dilakukan, dengan alasan Garuda sedang
mengembangkan kegiatan untuk menjadi flag carrier nasional dan
internasional. Pesawat hibah itu adalah tiga
Dakota DC-3, dua
Twin Otter dan satu Beaver. Dengan armada 12 pesawat, Merpati mulai tumbuh. Penerbangannya mulai merambah
Papua (
Irian Jaya),
Sumatera, dan
Nusa Tenggara Barat.
Seiring pertumbuhannya, Merpati memandang perlu untuk memperkuat armadanya dengan tambahan tiga
Dornier DO-28 dan enam
Pilatus Porter PC-6.
Namun, beberapa pesawat sebelumnya ada yang tidak lagi dapat
dioperasikan sehingga armada efektif Merpati 15 pesawat. Jumlah karyawan
Merpati pun bertambah, menjadi 583 orang.
Misi pemerintah
Latar belakang pendirian Merpati adalah untuk mengemban tugas dan misi dari pemerintah. Namun, sejak tahun
1966, Merpati mulai mengkomersialkan diri, di bawah Dirut Capt.
R.B. Wibisono (
1966-
1967). Pada masa ini juga, perusahaan memperluas wilayah operasinya di
Papua
dan membeli tiga pesawat Pilatus Porter. Misinya, berupa
penerbangan-penerbangan perintis, tetap dijalankan. Merpati pun menerima
bantuan tiga Twin Otter dari
PBB.
Pada masa Marsekal Pertama Udara
Santoro Suharto (
1967-
1975),
terlihat kemungkinan Merpati bisa mandiri. Maka, pemerintah daerah
mengurangi subsidi operasi penerbangan perintis. Namun, ternyata,
pengurangan subsidi tersebut menimbulkan masalah keuangan yang cukup
pelik karena penerbangan komersialnya belum beroperasi dengan mantap.
Pemerintah turun tangan lagi, dengan memberinya konsesi untuk ikut
ambil bagian dalam menjalankan penerbangan jarak jauh (trunk operation),
jarak sedang (semi trunk), dan jarak dekat (federline operation). Untuk
mendukung operasinya itu, Merpati menambah armada dengan tujuh
Dakota DC-3, yang dibeli dari
Australia dan Garuda. Pesawat-pesawat ini dipakai untuk menerbangi rute di
Nusa Tenggara Timur yang ditinggalkan Garuda. Sementara itu, penerbangan jarak jauh dan menengah baru dilaksanakan tahun
1970.
Guna meningkatkan efisiensi produksi, dan menjalankan tiga kelompok
jalur niaganya, Merpati menambah armada dengan empat Vickers Viscount
828, tiga YS-11, dan dua HS-748. Sebagian dari pesawat-pesawat ini ada
yang menerbangi rute internasional, seperti
Pontianak-
Kuching (
Serawak,
Malaysia) dan
Palembang-
Singapura.
Di bawah Santoso pula, Merpati menjalin kerjasama dengan sejumlah
perusahaan penerbangan nasional dan internasional. Merpati menyerahkan
seluruh pesawat Dakota-nya kepada
PT Suryadirgantara,
untuk dioperasikan bersama. Selain itu, dalam meningkatkan pelayanan
dan kinerja usaha, Merpati bekerjasama dengan sejumlah airlines asing,
seperti
Japan Air Lines,
Qantas,
Thai Airways International,
Lufthansa,
Olympic Airways,
Trans Australia Airlines, dan
China Airlines.
Kerjasama tersebut, salah satunya berupa kesepakatan dalam hal
ticketing. Dengan menggunakan tiket Merpati, penumpang dapat terbang
dengan airlines asing tersebut.
Tahun
1972, dua Vickers Vanguard memperkuat lagi armada Merpati. Wilayah operasinya pun bertambah hingga ke
Kuala Lumpur dan
Darwin. Merpati juga memperoleh bantuan dua Twin Otter dari Pemerintah
Kanada.
Pada saat itu, Merpati mengoperasikan armada 32 pesawat, yaitu empat
Vicker Viscount, empat YS-11, delapan Pilatus PC-6, tiga Dornier Do-28,
tujuh Pilatus Porter, tiga DHC-6 Twin Otter, satu DHC-3 Otter, dan dua
Vanguard.
Langkah-langkah usaha Santoso, yang kemudian mengelola airlines Seulawah yang bergabung dengan Mandala kini jadi
Mandala Airlines, dilanjutkan Marsekal Muda Udara
Ramli Sumardi (
1975-
1978). Merpati memiliki 37 pesawat, terdiri dari empat
Dakota DC-3, , empat
Twin Otter, dua
Fokker F-27, dua
HS-748, lima
YS-11, lima
VC-8, dan tiga
VC-9,
untuk menerbangi 97 kota di 19 propinsi. Pesawat-pesawat yang ada
sebelumnya, sebagian memang sudah tak lagi operasi. Merpati juga
mengoperasikan pesawat BAC-111 dan
Boeing 707 untuk penerbangan borongan (carter) internasional, yang terbang
Denpasar-
Manila dan
Los Angeles,
Amerika Serikat-
Denpasar, yang dihentikan tahun
1979.
Bergabung dengan Garuda
Tahun 1978, keluar PP, yang memengaruhi riwayat Merpati, yaitu PP
Nomor 30/1978, yang intinya mengharuskan Merpati mengalihkan modal ke
Garuda Indonesia.
Merpati yang menjadi anak perusahaan Garuda, tetap menjalankan
penerbangan perintis, lintas batas, transmigrasi, borongan wisatawan,
dan angkutan barang, serta usaha-usaha lainnya. Pola operasi Merpati
memang menyelenggarakan penerbangan pada semua jaraingan penerbangan
dalam negeri, secara terpadu dan saling mengisi dengan Garuda.
Penerbangan perintis merupakan tantangan besar tapi mulia bagi
Merpati. Namun dalam menjalankannya, Merpati mengikutsertakan sejumlah
perusahaan penerbangan swasta. Seperti PT SMAC untuk melayani Sumatera
Utara dan Tengah, sejak tahun
1978, dengan PT DAS untuk wilayah Kalimantan (sejak
1979), dengan PT Deraya di Kalimantan (sejak
1988), dengan PT Indoavia di Maluku (sejak
1988), dan dengan PT Asahi Mantrust di
Kalimantan Timur.
Pasca keluarnya PP itu, tahun 1979, Dirut Garuda
Wiweko Soepono pun menunjuk
R.A.J.Lumenta
(1979-1983) sebagai direktur utama. Dengan menerapkan sistem manajemen
yang ketat dan terarah, Lumenta membawa Merpati ke untuk melangkah lebih
baik lagi. Dia juga meyakinkan pemerintah agar memberi dana segar
sebesar 18 juta dollar AS, untuk memodernisasi armada.
Lumenta lah yang pertama kali menyuarakan bahwa Merpati tengah
merugi, bahkan menuju kebangkrutan. Oleh karena itu, menjadi anak
perusahaan Garuda dinilai sebagai langkah paling strategis, ketika itu.
Lumenta, yang memang "orang Garuda", pun mengelola Merpati dengan gaya
manajemen Garuda, terutama dalam rencana penerbangannya
Kemajuan mulai terlihat, ketika tahun
1980,
Merpati memperoleh tambahan 14 NC-212 dari pemerintah. Kemudian,
ditambah lagi dengan pembelian empat pesawat bekas dan enam pesawat baru
dari jenis yang sama. Selain itu, hanggar-hanggar pemeliharaan pesawat
pun dibangun di
Makassar dan
Manado. Adanya tempat-tempat perawatan pesawat tersebut, merupakan awal keberhasilan Merpati beroperasi di wilayah Timur.
Beberapa bulan pada tahun 1983, Merpati dipimpin
J. Soekardjo. Karena masa jabatannya yang singkat itu, ia jarang disebut-sebut. Selanjutnya, pada
10 November 1983, ia digantikan
Soeratman (
1983-
1989).
Pada masa jabatan Soeratman, Merpati memperoleh hibah dua
Pesawat Hercules L-100 (versi sipil dari C-130) dari
Pelita Air Service, tahun
1986. Merpati juga membuka penerbangan
Kupang-
Darwin menggunakan
HS-748, yang kemudian diganti dengan
F-28.
Tanggal
25 Juni 1986, Merpati menandatangani kontrak pembelian 15
CN-235 dari
IPTN, pada saat
Indonesia Air Show (IAS) yang pertama di bekas
Bandara Kemayoran,
Jakarta. Penyerahan pertama pesawat yang awalnya merupakan hasil kerjasama CASA dan IPTN itu hanya berlangsung akhir tahun itu juga.
Pada Mei 1989, kembali ada penggatian pucuk pimpinan Merpati. Kali ini giliran Capt.
F. H. Sumolang (
1989-
1992)
Langkah ini sebagai titik tolak realisasi integrasi penuh atau operasi
terpadu Merpati ke dalam Garuda Indonesia Group. Merpati ditetapkan
sebagai pendukung operasi penerbangan Garuda di tingkat domestik.
Sejumlah armada Garuda pun dialihkan kepada Merpati, antara lain, enam
F-28 Mk.3000, 22 F-28 Mk. 4000, dan sembilan DC-9.
Berlanjutnya masalah Merpati
Masa-masa
"gejolak" di dalam tubuh Merpati masih berlangsung .
Ridwan Fataruddin (
1992-
1995)
yang menggantikan Sumolang, harus berhadapan dengan permasalahan
kekurangan tenaga pilot, menyusul penarikan kembali armada Garuda dari
tubuh Merpati. Program pengiriman calon pilot ke
Australia dan
Selandia Baru
yang baru dijalankan, belum dapat mengatasi kekurangan tersebut. Walau
di belakangan hari, pasca pemisahan Merpati-Garuda, masalah pilot ini
menguak lagi.
Rencana pemisahan kembali dengan Garuda memang menimbulkan banyak
masalah yang menghambat operasi Merpati. Apalagi pemisahan itu juga
memberi kesempatan pada Garuda untuk menerbangi rute-rute domestik, yang
sebelumnya juga diterbangi Merpati. Garuda dan Merpati pun bersaing di
pasar yang sama. Persaingan semakin ketat karena sejumlah perusahaan
swasta pun ikut meningkatkan frekuensi pada rute yang sama.
Pada masa itu, Merpati sempat menambah armada, dengan
Fokker-100, pesanan Garuda yang dialihkan, dan
B737-200.
Armada yang beroperasi pun menjadi 86 pesawat, walaupun masih belum
mencukupi untuk menerbangi 466 rute di lebih dari 130 kota.
Permasalahannya memang kian terbuka, walau tidak pernah diungkapkan
seperti sekarang. Masalah-masalah tersebut berdampak kepada ketepatan
jadwal penerbangan (OTP, on time performace) yang makin rendah.
Rendahnya tingkat OTP itu betul-betul menurunkan citra Merpati di mata
pelanggannya.
Menurunnya kinerja tersebut, antara lain karena banyaknya tipe
pesawat yang dimilikinya. Merpati ketika itu memiliki 8 tipe pesawat
yang berbeda, yaitu
Fokker-100,
B737-200,
Fokker-28, BAe ATP,
Fokker-27,
CN-235,
NC- 212, dan
Twin Otter. Belum lagi banyaknya pesawat yang perlu perawatan sehingga menurunkan utilisasinya. Merpati pun sering terdengar
"merugi".
Permasalah yang terjadi saling berkait antara satu dengan yang lain. Misalnya, penyewaan pesawat yang penuh
mark up, sewa pesawat yang tidak
feasible,
dan berbagai penyimpangan lainnya. Bahkan dikatakan, hampir semua
transaksi yang terjadi tidak mendukung langkah-langkah untuk membawa
perusahaan menjadi sehat.
Meski demikian, Merpati harus siap menghadapi kondisi yang ada. Menjelang pemisahan dengan Garuda, pada akhir tahun
1996,
Merpati berusaha mandiri, antara lain dengan cara lebih mengefisienkan
diri dan memperbaiki kinerja perusahaan. Namun semua itu belum
membuahkan hasil seperti yang diharapkan, antara lain karena belum bisa
memecahkan masalah permodalan dan perestruktiurisasian di tubuh
perusahaan. Kerugian pun makin membengkak hingga Rp135 milyar, dengan
penurunan kinerja pelayanan yang seringkali mengecewakan para
pelanggannya.
Direktur Utama
Budiarto Subroto (
1995-
1999) berupaya mencari celah perbaikan dengan memangkas rute yang tidak menguntungkan. Saat itu, 34 rute perintis di
Maluku,
Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi, yang biasanya diterbangi
NC-212, dan enam rute lain di
Papua,
dipangkas jumlah frekuensinya dan ditutup, walau 28 rute perintis masih
dipertahankan. Pada masa itu, Merpati lebih banyak menata kembali rute
perintis.
Pada masa itu, Merpati dengan "berani" mendatangkan
A310 dan
A300-600
untuk menjelajah rute internasional ke Australia. Penerbangan ini
membukukan utang yang tak sedikit. Belum lagi persoalan pesawat ATP yang
tak lagi laik terbang sehingga grounded, walau tetap harus membayar
sewa. Ada lagi Tristar, untuk menggantikan
A310, dan kemudian BAe-146-100, yang operasinya hanya "sekejap".
Kerugian pun tak pernah "beranjak". Pada semester pertama
1997,
misalnya, kerugiannya mencapai Rp40,1 milyar. Makin terpuruk pada
semester kedua 1997, saat krisis mulai melanda. Hutang Merpati pun
menjadi lebih besar dari asetnya.
Berdasarkan analisis pengamat penerbangan yang menyebut bahwa pada tahun
1998, nilai aset Merpati sudah mencapai lebih Rp 830 milyar di bawah
utang, tidaklah menjadikan Merpati "bangkrut". Awal tahun
1999,
Wahyu Hidayat dan jajarannya "diperintahkan" untuk membenahinya.
Gebrakan direksi baru itu cukup meyakinkan. Merpati mulai membenahi
kinerja operasinya. Seperti, tingkat keselamatan penerbangan makin
tinggi dan OTP (
On Time Performance) secara perlahan merambat naik. Dengan slogan
"Get The Feeling", Merpati mulai berbenah dengan serius. Tahun 1999, diumumkan bahwa Merpati meraih laba operasi, yang kedua setelah tahun 1992.
Namun, tantangan dan ancaman makin kompleks. Di luar, persaingan
makin ketat. Selain bermunculan airlines swasta yang baru, Garuda pun
makin menancapkan keberadaannya di domestik. Jumlah karyawannya saja
4.300 orang dengan 600 pilot, tapi hanya mengoperasikan 35 pesawat.
Merpati kini
Tahun 2007, Merpati mulai melaksanakan program revitalisasi dan
modernisasi armada secara parsial ,mengingat Merpati hingga saat ini
masih bergelut dengan masalah keuangan
[3][4], terutama armada perintis, dengan memesan 14 pesawat
Xian MA60 dari Xian Aircraft China. Merpati juga sempat menyewa 1
ATR 72,
namun kemudian dikembalikan karena dianggap tidak ekonomis (beberapa
sumber menyatakan bahwa ATR hanya disewa sementara, menunggu tambahan
MA60) . Merpati juga mengumumkan akan membeli 11 pesawat 30-kursi untuk
rute domestik. (tipe belum dikonfirmasi), serta juga kemungkinan akan
memesan pesawat
N-219 buatan
PTDI sekitar tahun 2011 ini.
Pada 7 Mei 2011 lalu, sebuah pesawat
Xian MA60 (
PK-MZK)
jatuh di perairan Kaimana, menewaskan seluruh penumpangnya yang
berjumlah 27 orang (21 penumpang dan 6 kru). Kecelakaan ini menambah
panjang daftar kecelakaan yang melibatkan armada perintis Merpati.
Kecelakaan terakhir yang dialami Merpati adalah pada tanggal 2 Agustus
2009, dimana sebuah Twin Otter
jatuh di pegunungan di
Papua, menewaskan seluruh 16 penumpangnya (13 penumpang dan 3 kru). Setelah kecelakaan di
Kaimana, banyak pihak mempertanyakan keputusan Merpati membeli pesawat Xian MA60 tersebut, serta dugaan
mark-up dan kolusi yang terjadi saat proses pembeliannya.
5 Juni 2011: Untuk memenuhi misinya sebagai 'Jembatan Udara
Nusantara', Merpati Nusantara Airlines memerlukan 15 pesawat jet,
ditambah 40 pesawat 50-penumpang dan 20 pesawat 20-penumpang seperti
MA-60, NC-212, N-219, dan DHC-6 Twin Otter.
[5] Bulan Juli 2011, Pemerintah dan DPR menyetujui penyuntikan modal senilai 516 milyar rupiah ke Merpati dalam APBN 2012.
[6]. Kemudian, di bulan Oktober 2011,
Pertamina
menghentikan pasokan avtur ke Merpati di Surabaya dan Makassar akibat
hutang biaya pembelian avtur senilai 270 milyar rupiah, sehingga
menghentikan operasi Merpati dari kedua bandara tersebut
[7].
Hutang total Merpati kepada Pertamina adalah sebesar 550 milyar rupiah,
terdiri dari hutang pokok 270 milyar, dan sisanya bunga dan denda
[8]. Namun, beberapa waktu kemudian, operasi Merpati dari kedua bandara tersebut sudah normal kembali.
Pada bulan Maret 2012, Merpati meluncurkan program "Tahun Emas
Merpati Nusantara". Acara peluncuran yang disaksikan langsung oleh
Menteri BUMN
Dahlan Iskan dan duta maskapai Merpati
Deddy Mizwar
ini memberikan garansi OTP (On Time Performance) yang dinamai "On Time
Guarantee" apabila pesawat Merpati delay lebih dari 4 jam atau
dibatalkan, undian berhadiah 1 Toyota Voll Fire, 1 Toyota Innova, 12
Nissan Juke, 12 Smart Car Marcedes, 55 iPad 2, 55 Samsung Galaxy TAB 7
dan 55 Black Berry Onyx, serta membuka layanan Call Center baru di
Bandung di nomor 08041621621 dan (022)88887777. Dalam program inipun
Dahlan Iskan
juga menjadi bintang iklannya yang menyatakan ia akan selalu naik
Merpati, yang berbunyi : "Saya dan keluarga akan mengutamakan selalu
naik Merpati".